Awal dari sejarah Waruga mencatat bahwa mula-mula Suku Minahasa jika mengubur orang
meninggal sebelum ditanam terlebih dulu dibungkus dengan daun woka (sejenis
janur). Lambat laun, terjadi perubahan dalam kebiasaan menggunakan daun woka. Kebiasaan dibungkus daun ini
berubah dengan mengganti wadah rongga pohon
kayu atau nibung kemudian orang meninggal dimasukkan ke dalam rongga pohon lalu ditanam dalam tanah. Baru
sekitar abad IX Suku Minahasa mulai menggunakan Waruga.
Waruga adalah makam/kuburan leluhur orang Minahasa (Suku Minahasa) yang terbuat
dari batu (Batuan Beku “igneous rock”/Batu
Demato) dan terdiri dari dua bagian. Bagian atas
berbentuk segitiga seperti bubungan rumah dan bagian bawah berbentuk kotak yang bagian tengahnya ada ruang. Orang yang telah meninggal diletakkan pada posisi menghadap ke utara dan didudukkan dengan tumit kaki menempel pada pantat dan kepala mencium lutut. Tujuan dihadapkan ke bagian Utara yang menandakan bahwa nenek moyang Suku Minahasa berasal dari bagian Utara.
berbentuk segitiga seperti bubungan rumah dan bagian bawah berbentuk kotak yang bagian tengahnya ada ruang. Orang yang telah meninggal diletakkan pada posisi menghadap ke utara dan didudukkan dengan tumit kaki menempel pada pantat dan kepala mencium lutut. Tujuan dihadapkan ke bagian Utara yang menandakan bahwa nenek moyang Suku Minahasa berasal dari bagian Utara.
Ada
beberapa versi mengenai asal usul nama Waruga. Versi pertama mengatakan bahwa
istilah “Waruga” berasal dari kata “maruga” (bahasa Tombulu, Tondano, Tonsea)
yang artinya “direbus”. Versi kedua mengatakan bahwa “Waruga” berasal dari kata
“meruga” (bahasa Minahasa Kuno) yang berarti “lembek” atau “cair”. Sedangkan,
versi yang lain menyebutkan bahwa “Waruga” berasal dari dua kata, yaitu “waru”
yang berarti “rumah” dan “ruga” yang berarti “badan”. Jadi, Waruga dapat
diartikan sebagai “rumah tempat badan yang akan kembali ke surga”.
Konon,
makam yang terbuat dari batu yang dipahat dan dibentuk seperti rumah khas orang
Minahasa ini adalah salah satu warisan tradisi zaman megalitikum yang terus
dipertahankan hingga kira-kira pertengahan abad ke XIX. Hal ini dapat
dibuktikan dari pahatan angka tahun pada beberapa Waruga seperti: 1769, 1839,
1850 dan lain sebagainya. Waruga dahulu digunakan sebagai sarana pemakaman
keluarga yang ditaruh di pekarangan atau di kolong rumah. Namun, tidak semua
orang Minahasa memiliki Waruga. Hanya orang-orang yang mempunyai status sosial
yang cukup tinggi saja yang memilikinya. Itu pun jumlahnya tidak terlalu
banyak.
Menurut
catatan, dari jumlah Waruga yang ada di Minahasa konon tidak banyak diperkirakan hanya ada
sekitar 1.700 sampai dengan 2.000 buah Waruga. di Minahasa bagian utara, pada
awalnya Waruga-waruga yang ada sekitar 370 buah, tersebar pada hampir semua
desa di Minahasa Utara yang akhirnya dikumpulkan ke beberapa tempat seperti
kelurahan Rap-rap sekitar 15 buah, kelurahan Airmadidi Bawah 211 buah dan desa
Sawangan 144 buah.
Berdasarkan
sejarah, sekitar tahun 1860 tradisi mengubur mayat dalam Waruga mulai dilarang
oleh Belanda. Karena saat itu muncul wabah penyakit pes, kolera dan tifus yang diduga bersumber dari
mayat yang membusuk dalam Waruga. Di daerah Sawangan, atas instruksi Hukum Tua
(kepala desa), Waruga-waruga yang tersebar diseluruh desa dikumpulkan dan di
taruh di pinggir desa. Hal ini dilakukan agar warga desa tidak terjangkit wabah
penyakit yang disebabkan oleh mayat yang membusuk tadi. Bersamaan dengan itulah pada tahun
1870 Suku Minahasa mulai membuat peti mati sebagai
pengganti Waruga, dan agama Kristen mengharuskan mayat dikubur di dalam tanah mulai menyebar di Minahasa.
Waruga yang memiliki ukiran dan relief umumnya terdapat di Tonsea (tou un sea) merupakan salah
satu sub etnis yang ada di etnis Minahasa. Ukiran dan relief tersebut menggambarkan
berapa jasad yang tersimpan di Waruga yang bersangkutan sekaligus menggambarkan
mata pencarian atau pekerjaan orang tersebut semasa hidup. Waruga-Waruga
yang ada di daerah Minahasa ini mulai banyak menarik perhatian orang luar,
terutama para peneliti, sejak C.T. Bertling menulis artikel De Minahasche
Waruga en Hockernestattung yang dimuat dalam majalah Nederlansche Indis Oud en
Niew (NION), No. XVI, tahun 1931. Setelah itu, C.I.J. Sluijk juga menulis
artikel tentang Waruga berjudul Tekeningen op Grafsten uit de Minahasa.
Pada
tahun 1976, Drs. Hadi Moeljono yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Suaka
Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Sulawesi Selatan, mengadakan
penelitian tentang Waruga di Kabupaten Minahasa. Dari hasi penelitiannya itu,
pada tahun 1977 Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Sulawesi
Selatan melakukan pemugaran terhadap kompleks Waruga di Sawangan dan Airmadidi.
Hasilnya, pada tahun 1978 kompleks makam itu menjadi suatu Taman Waruga. Oleh pemerintah
taman Waruga ini kemudian dijadikan sebagai benda cagar budaya dan sekaligus
juga sebagai obyek wisata budaya
yang unik dan menarik. Kompleks makam Waruga Sawangan peresmiannya dilakukan
oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Dr. Daoed Joeseof pada tanggal
23 Oktober 1978. Kini lokasi Waruga-waruga di tempat tersebut menjadi salah
satu tujuan wisata sejarah di Sulawesi Utara. dan telah dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1995.
HASIL PENGAMATAN (OBSERVASI) TAMAN MAKAM
WARUGA
WANUA SAWANGAN – MINAHASA UTARA
Sawangan adalah nama desa di kecamatan Airmadidi, kabupaten Minahasa
Utara (sekitar 40km dari kota Manado),
Provinsi Sulawesi Utara. Desa ini terkenal dengan kompleks Waruga atau pemakaman kuno Minahasa. Kubur batu Waruga di wilayah ini adalah Sub Etnis Tonsea
yang merupakan salah satu sub etnis yang ada di Etnis Minahasa. Kubur batu Waruga
merupakan salah satu unsur peninggalan megalitik yang berupa kubur peti batu.
Dilihat dari konstruksinya Waruga mempunyai wadah yang berbentuk empat persegi
panjang serta tutup yang berbentuk prisma (menyerupai atap rumah),
Dari
hasil pengamatan tim jurnalistik MPA Artsas, kompleks Taman Waruga Sawangan dapat dibagi menjadi
beberapa bagian, yaitu: tempat pemakaman, museum, dan bangunan tambahan.
Berikut ini adalah uraian tentang bagian-bagian tersebut.
Tempat
pemakaman yang berisi ratusan buah Waruga berada di bagian belakang taman.
Waruga-waruga yang ada di tempat ini bahannya terbuat dari batu dengan lebar
rata-rata 1 meter dan tinggi 1-2 meter, terdiri atas dua bagian yang berfungsi
sebagai wadah dan tutup. Bagian tutup Waruga bentuknya menyerupai atap rumah
yang menjulang tinggi. Di bagian tutup ini banyak dipahatkan berbagai macam
hiasan berupa: manusia dalam berbagai posisi, binatang, benda alam,
tumbuh-tumbuhan, matahari, tumpal, untaian permata, rumbai-rumbai, ragam hias
geometris dan lain-lain. Ada yang mengatakan bahwa hiasan-hiasan tersebut
merupakan gambaran situasi surgawi atau gambaran situasi saat orang yang ada di
dalamnya mati. Misalnya, ada yang meninggal waktu melahirkan, digambarkan dalam
posisi mengangkang. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa hiasan-hiasan itu
merupakan gambaran profesi saat orang itu masih hidup. Misalnya, apabila di Waruga
tersebut ada gambar binatang, maka orang yang dikubur di dalamnya, dahulunya
adalah seorang pemburu. Atau hiasan orang yang sedang bermusyawarah, maka
dahulu orang yang dikuburkan di Waruga itu adalah seorang Dotu Tangkudu
(hakim).
Pada
bagian depan kompleks kubur Waruga terdapat sebuah museum yang bentuknya berupa
rumah panggung khas Minahasa. Di dalam museum itu terdapat beberapa lemari kaca
yang menyimpan berbagai macam cincin, gelang, kalung, keramik Cina dari Dinasti
Ming dan Ching, tulang belulang manusia dan lain sebagainya. Barang-barang
tersebut adalah isi dari Waruga yang telah dibongkar dan dipindahkan ke dalam
museum. Sebagai catatan, mayat yang akan ditaruh di dalam Waruga biasanya
disertai dengan berang-barang perhiasan miliknya.
Selain
itu, di beberapa dinding bagian dalam museum ini juga terpampang peta kompleks
Waruga, foto-foto pemugaran kompleks, dan kliping foto orang-orang terkenal
yang pernah datang ke kompleks Waruga ini, yaitu: Ratu Beatrix dari Belanda
yang pernah datang tahun 1995, Ratu Juliana pada tahun 1971, dan Pangeran
Bernard.
Di
sebelah museum, ada sebuah bangunan pendukung yang berbentuk rumah “modern”.
Bangunan ini pada bagian depannya tidak berdinding dan di dalamnya terdapat sebuah
kereta yang tampak seperti kereta pengangkut jenazah.
Sumber:
Juru Kunci - Taman purbakala Waruga sawangan (Indonesia)
Tim Koordinasi Siaran Dierktorat Jenderal
Kebudayaan. 1988.
Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan
Christ Blessing and the Waruga (Inggris)
Ambil gambar waruga Desa wisata Tumaluntung , tapi di catat bkn desa Tumaluntung...wkwkkw
BalasHapus