Kamis, 31 Maret 2016

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN WARUGA (MINAHASA UTARA)


Waruga di salah satu perkebunan warga di desa Tumaluntung Minut

Awal dari sejarah Waruga mencatat bahwa mula-mula Suku Minahasa jika mengubur orang meninggal sebelum ditanam terlebih dulu dibungkus dengan daun woka (sejenis janur). Lambat laun, terjadi perubahan dalam kebiasaan menggunakan daun woka. Kebiasaan dibungkus daun ini berubah dengan mengganti wadah rongga pohon kayu atau nibung kemudian orang meninggal dimasukkan ke dalam rongga pohon lalu ditanam dalam tanah. Baru sekitar abad IX Suku Minahasa mulai menggunakan Waruga. 
Waruga adalah makam/kuburan leluhur orang Minahasa (Suku Minahasa) yang terbuat dari batu (Batuan Beku “igneous rock”/Batu Demato) dan terdiri dari dua bagian. Bagian atas
berbentuk segitiga seperti bubungan rumah dan bagian bawah berbentuk kotak yang bagian tengahnya ada ruang. Orang yang telah meninggal diletakkan pada posisi menghadap ke utara dan didudukkan dengan tumit kaki menempel pada pantat dan kepala mencium lutut. Tujuan dihadapkan ke bagian Utara yang menandakan bahwa nenek moyang Suku Minahasa berasal dari bagian Utara.
Ada beberapa versi mengenai asal usul nama Waruga. Versi pertama mengatakan bahwa istilah “Waruga” berasal dari kata “maruga” (bahasa Tombulu, Tondano, Tonsea) yang artinya “direbus”. Versi kedua mengatakan bahwa “Waruga” berasal dari kata “meruga” (bahasa Minahasa Kuno) yang berarti “lembek” atau “cair”. Sedangkan, versi yang lain menyebutkan bahwa “Waruga” berasal dari dua kata, yaitu “waru” yang berarti “rumah” dan “ruga” yang berarti “badan”. Jadi, Waruga dapat diartikan sebagai “rumah tempat badan yang akan kembali ke surga”.

Konon, makam yang terbuat dari batu yang dipahat dan dibentuk seperti rumah khas orang Minahasa ini adalah salah satu warisan tradisi zaman megalitikum yang terus dipertahankan hingga kira-kira pertengahan abad ke XIX. Hal ini dapat dibuktikan dari pahatan angka tahun pada beberapa Waruga seperti: 1769, 1839, 1850 dan lain sebagainya. Waruga dahulu digunakan sebagai sarana pemakaman keluarga yang ditaruh di pekarangan atau di kolong rumah. Namun, tidak semua orang Minahasa memiliki Waruga. Hanya orang-orang yang mempunyai status sosial yang cukup tinggi saja yang memilikinya. Itu pun jumlahnya tidak terlalu banyak.
Menurut catatan, dari jumlah Waruga yang ada di Minahasa  konon tidak banyak diperkirakan hanya ada sekitar 1.700 sampai dengan 2.000 buah Waruga. di Minahasa bagian utara, pada awalnya Waruga-waruga yang ada sekitar 370 buah, tersebar pada hampir semua desa di Minahasa Utara yang akhirnya dikumpulkan ke beberapa tempat seperti kelurahan Rap-rap sekitar 15 buah, kelurahan Airmadidi Bawah 211 buah dan desa Sawangan 144 buah.
Berdasarkan sejarah, sekitar tahun 1860 tradisi mengubur mayat dalam Waruga mulai dilarang oleh Belanda. Karena saat itu muncul wabah penyakit  pes, kolera dan tifus yang diduga bersumber dari mayat yang membusuk dalam Waruga. Di daerah Sawangan, atas instruksi Hukum Tua (kepala desa), Waruga-waruga yang tersebar diseluruh desa dikumpulkan dan di taruh di pinggir desa. Hal ini dilakukan agar warga desa tidak terjangkit wabah penyakit yang disebabkan oleh mayat yang membusuk tadi. Bersamaan dengan itulah pada tahun 1870 Suku Minahasa mulai membuat peti mati sebagai pengganti Waruga, dan agama Kristen mengharuskan mayat dikubur di dalam tanah mulai menyebar di Minahasa.

Waruga yang memiliki ukiran dan relief umumnya terdapat di Tonsea (tou un sea) merupakan salah satu sub etnis yang ada di etnis Minahasa. Ukiran dan relief tersebut menggambarkan berapa jasad yang tersimpan di Waruga yang bersangkutan sekaligus menggambarkan mata pencarian atau pekerjaan orang tersebut semasa hidup. Waruga-Waruga yang ada di daerah Minahasa ini mulai banyak menarik perhatian orang luar, terutama para peneliti, sejak C.T. Bertling menulis artikel De Minahasche Waruga en Hockernestattung yang dimuat dalam majalah Nederlansche Indis Oud en Niew (NION), No. XVI, tahun 1931. Setelah itu, C.I.J. Sluijk juga menulis artikel tentang Waruga berjudul Tekeningen op Grafsten uit de Minahasa.
Pada tahun 1976, Drs. Hadi Moeljono yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Sulawesi Selatan, mengadakan penelitian tentang Waruga di Kabupaten Minahasa. Dari hasi penelitiannya itu, pada tahun 1977 Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Sulawesi Selatan melakukan pemugaran terhadap kompleks Waruga di Sawangan dan Airmadidi. Hasilnya, pada tahun 1978 kompleks makam itu menjadi suatu Taman Waruga. Oleh pemerintah taman Waruga ini kemudian dijadikan sebagai benda cagar budaya dan sekaligus juga sebagai obyek wisata budaya yang unik dan menarik. Kompleks makam Waruga Sawangan peresmiannya dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Dr. Daoed Joeseof pada tanggal 23 Oktober 1978. Kini lokasi Waruga-waruga di tempat tersebut menjadi salah satu tujuan wisata sejarah di Sulawesi Utara. dan telah dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1995.


HASIL PENGAMATAN (OBSERVASI) TAMAN MAKAM WARUGA 
WANUA SAWANGAN – MINAHASA UTARA

Sawangan adalah nama desa di kecamatan Airmadidi, kabupaten Minahasa Utara (sekitar 40km dari kota Manado), Provinsi Sulawesi Utara. Desa ini terkenal dengan kompleks Waruga atau pemakaman kuno Minahasa. Kubur batu Waruga di wilayah ini adalah Sub Etnis Tonsea yang merupakan salah satu sub etnis yang ada di Etnis Minahasa. Kubur batu Waruga merupakan salah satu unsur peninggalan megalitik yang berupa kubur peti batu. Dilihat dari konstruksinya Waruga mempunyai wadah yang berbentuk empat persegi panjang serta tutup yang berbentuk prisma (menyerupai atap rumah),
Dari hasil pengamatan tim jurnalistik MPA Artsas, kompleks Taman Waruga Sawangan dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: tempat pemakaman, museum, dan bangunan tambahan. Berikut ini adalah uraian tentang bagian-bagian tersebut. 
Tempat pemakaman yang berisi ratusan buah Waruga berada di bagian belakang taman. Waruga-waruga yang ada di tempat ini bahannya terbuat dari batu dengan lebar rata-rata 1 meter dan tinggi 1-2 meter, terdiri atas dua bagian yang berfungsi sebagai wadah dan tutup. Bagian tutup Waruga bentuknya menyerupai atap rumah yang menjulang tinggi. Di bagian tutup ini banyak dipahatkan berbagai macam hiasan berupa: manusia dalam berbagai posisi, binatang, benda alam, tumbuh-tumbuhan, matahari, tumpal, untaian permata, rumbai-rumbai, ragam hias geometris dan lain-lain. Ada yang mengatakan bahwa hiasan-hiasan tersebut merupakan gambaran situasi surgawi atau gambaran situasi saat orang yang ada di dalamnya mati. Misalnya, ada yang meninggal waktu melahirkan, digambarkan dalam posisi mengangkang. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa hiasan-hiasan itu merupakan gambaran profesi saat orang itu masih hidup. Misalnya, apabila di Waruga tersebut ada gambar binatang, maka orang yang dikubur di dalamnya, dahulunya adalah seorang pemburu. Atau hiasan orang yang sedang bermusyawarah, maka dahulu orang yang dikuburkan di Waruga itu adalah seorang Dotu Tangkudu (hakim).
Pada bagian depan kompleks kubur Waruga terdapat sebuah museum yang bentuknya berupa rumah panggung khas Minahasa. Di dalam museum itu terdapat beberapa lemari kaca yang menyimpan berbagai macam cincin, gelang, kalung, keramik Cina dari Dinasti Ming dan Ching, tulang belulang manusia dan lain sebagainya. Barang-barang tersebut adalah isi dari Waruga yang telah dibongkar dan dipindahkan ke dalam museum. Sebagai catatan, mayat yang akan ditaruh di dalam Waruga biasanya disertai dengan berang-barang perhiasan miliknya.
Selain itu, di beberapa dinding bagian dalam museum ini juga terpampang peta kompleks Waruga, foto-foto pemugaran kompleks, dan kliping foto orang-orang terkenal yang pernah datang ke kompleks Waruga ini, yaitu: Ratu Beatrix dari Belanda yang pernah datang tahun 1995, Ratu Juliana pada tahun 1971, dan Pangeran Bernard.
Di sebelah museum, ada sebuah bangunan pendukung yang berbentuk rumah “modern”. Bangunan ini pada bagian depannya tidak berdinding dan di dalamnya terdapat sebuah kereta yang tampak seperti kereta pengangkut jenazah.

Sumber:
Juru Kunci - Taman purbakala Waruga sawangan (Indonesia)
Tim Koordinasi Siaran Dierktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. 
Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan  
Christ Blessing and the Waruga (Inggris)

1 komentar:

  1. Ambil gambar waruga Desa wisata Tumaluntung , tapi di catat bkn desa Tumaluntung...wkwkkw

    BalasHapus